Rabu, 21 November 2012

Berbicara Kotor Imam Al-Ghazali Riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallahu Wajhah, dari Rasulullah saw, bersabda: “Tuhanku mendidikku, dan Dia mendidik adabku dengan baik.” Kebiasaan berbicara kotor harus segera dihentikan, karena sangat berpengaruh terhadap hati. Secara khusus, lisan merupakan proyektor hati. Setiap kata yang terucap akan membekas di dalam hati dan akan tergores di dalam benaknya. Karenanya, bila lisan berkata dusta, akan terjelma gambaran dusta di dalam hati, dan dengan demikian hati pun akhirnya berkecenderungan melakukan penyimpangan. Demikian pula bila lisan mengobral kata yang tidak berguna, hati pun menjadi pekat dan akhirnya mematikan hati. Tidak mengherankan bila Rasulullah saw sangat memperhatikan ‘ perkara lisan ini. Dalam beberapa hadis beliau bersabda, “Barangsiapa menjaminkan kepadaku dengan menjaga lisan dan kemaluannya, maka aku akan menjaminnya masuk surga.” Suatu ketika beliau ditanya tentang faktor yang banyak menyebabkan orang masuk neraka, Nabi saw menjawab, “Yaitu dua lubang: lisan dan kemaluan.” Sabdanya pula, “Sesungguhnya manusia itu disungkurkan ke dalam neraka hanya lantaran lisannya.”Juga sabdanya, “Barangsiapa diam, maka selamat.” Suatu ketika Mu’adz bin Jabal r.a. bertanya kepada Nabi saw, “Pekerjaan apakah yang paling utama?” Lalu beliau menampakkan lisan dan meletakkan tangan beliau pada lisan, seraya bersabda, ;”Sesungguhnya kebanyakan dosa manusia berpangkal dari lisannya.” Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari Muslim). Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa banyak bicara, maka banyak salahnya, dan barangsiapa banyak salahnya berarti banyak pula dosanya, dan barangsiapa banyak dosanya, maka neraka lebih layak baginya.” (AI-Hadits). Penyakit Lisan Sebenarnya bencana dan penyakit lisan itu ada dua puluh, sebagaimana kami uraikan dalam Al-Ihya’, Bab “Penyakit Lisan”. Namun panjang uraiannya. Anda cukup dengan memahami satu ayat ini: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisik mereka, kecuali bisik-bisik dari orang yang menyuruh memberi sedekah atau berbuat ma’ruf.” (Q.s. An-Nisa’: 114). Maknanya, Anda jangan bicara kecuali memiliki arti bagi diri Anda. Anda cukup membatasi yang penting-penting saja. Itu akan menyelamatkan. Anas r.a. berkata, “Seorang pemuda mati syahid di Perang Uhud, sedang di perutnya ada batu yang mengganjal karena lapar. Kemudian ibunya mengusap debu yang ada di wajahnya sambil berkata, ‘Nikmatilah surga, anakku!’ Lalu Rasulullah saw bersabda, ‘Dan apa yang menunjukkan kamu, kalau ia bicara tidak pada tempatnya, dan melarang sesuatu yang tidak membahayakannya’.” Batasan bicara yang tidak berarti, apabila pembicaraan itu ditinggalkan, maka tidak menghilangkan pahala, dan tidak membuatnya bahaya. Kalau seseorang membatasi hal demikian, akan sedikit bicara. Seorang hamba seharusnya mengoreksi diri atas semua yang tiada berarti baginya. Dzikir kepada Allah swt. tentunya akan menjadi pengganti lebih baik, karena dzikir termasuk simpanan kebahagiaan. Masuk akalkah apabila harta terpendam dibiarkan, lantas memilih lumpurnya? Dalam hal ini pun, jika pembicaraannya tidak mengandung dosa. Kalau mengandung dosa, berarti la meninggalkan harta terpendamnya, lalu mengambil api neraka. Termasuk omongan yang tidak berarti adalah cerita-cerita soal wisata, ragam menu makanan luar negeri, kebiasaan-kebiasaan mereka, perilaku manusia, soal industri dan perdagangan. Semua itu merupakan obyek yang membuat manusia asyik di dalamnya. Barangkali Anda ingin tahu sebagian penyakit tersebut. Dari dua puluh macam penyakit lisan, tersimpul pada lima macam penyakit: dusta, ghibah (menggunjing), berdebat secara konfrontatif, senda gurau dan puj’ian. Pertama: Dusta Rasulullah saw bersabda: “Seorang hamba senantiasa dusta, dan terus-menerus dusta, sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” Sabdanya pula, “Celakalah orang yang bercakap-cakap, kemudian berdusta, agar menimbulkan tawa orang banyak. Sungguh celaka ia ... dan celaka ... “ Suatu ketika Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat, “Ya Rasulullah, apakah orang yang beriman itu bisa berzina? Apakah orang beriman itu juga mencuri?” Beliau menjawab, “Itu mungkin saja terjadi!” “Kalau berdusta?” tanya sahabat itu lagi. Nabi saw menjawab, “Tidak, sebab yang berdusta itu hanyalah orang-orang yang tidak percaya kepada ayat-ayat Allah. “ Pada suatu kesempatan, dalam keadaan berbaring Rasulullah saw bersabda, “Maukah kalian kuberitahu tentang induk segala dosa besar? Yaitu syirik kepada Allah swt. dan durhaka kepada kedua orangtua.” Kemudian beliau duduk dan bersabda kembali, “Dan ingat pula, berkata dusta.” Sabda beliau pula, “Setiap perilaku telah dicap oleh Allah swt. pada orangMukmin, kecuali khianat dan dusta.” Dusta Darurat. Perlu diketahui, bahwa dusta itu haram dalam segala hal, kecuali karena darurat. Suatu ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Mari ke sini, nanti kuberi sesuatu!” Lalu Nabi saw bertanya kepada sang ibu itu, “Kalau anak itu nanti datang menemuimu, apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Si ibu itu menjawab, “Buah kurma.” Nabi saw berkata lagi, “Ingatlah, bila engkau tidak memenuhinya, engkau dicatat telah berdusta.” Manusia hendaknya menghindari dusta, bahkan dusta dalam khayalan dan bisikan jiwa. Sebab akan tertanam dalam jiwanya lukisan yang bengkok, sampai akhirnya dusta pula mimpi-mimpinya, sehingga rahasia alam malakut tidak terbuka kala tidurnya. Dusta ditolerir, jika dengan bicara jujur justru kita terjerumus pada larangan yang lebih dahsyat daripada dusta. Sebagaimana kita boleh memakan bangkai, bilamana menjauhinya ternyata justru melakukan pelanggaran lain yang lebih dahsyat berupa hilangnya nyawa. Ummu Kaltsum r. a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw tidak membolehkan dusta, kecuali dalam tiga hal: (1) Berdusta untuk mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa, (2) Pada waktu perang, dan (3) Dusta seorang suami kepada sang istri (demi kebaikan).” Hal ini secara jelas dapat dipahami, bahwa bila rahasia perang diketahui oleh musuh, niscaya dengan mudah mereka akan menyerang dan mengalahkan kita. Begitupun bila semua rahasia perilaku seorang suami diketahui oleh si istri, akan mendatangkan petaka dan bahaya lebih besar daripada bahaya dusta itu sendiri. Demikian pula bila dua orang yang tengah bersengketa yang tidak secepatnya diupayakan ishlah, keduanya - termasuk pula tetangga sekitarnya - akan terus bergelimang dalam dosa dan kedurhakaan. Dan bila ternyata ishlah antara keduanya hanya memungkinkan bila ditempuh dengan jalan berdusta, maka itu lebih utama dilakukan. Demikian dalam hadits. Semakna dengan perkara ini adalah, dusta kita terhadap si zalim yang ingin meraup keuntungan dari harta para tetangga atau orang lain, atau berdusta untuk menutupi rahasia seseorang, atau enggan mengakui kesalahan diri sendiri kepada orang lain karena membeberkan perbuatan dosa, agar hatinya tentram. Atau berdusta kepada sang istri dengan maksud agar cintanya hanya untuk kita. Semua ini adalah jenis jenis perbuatan dusta yang dibolehkan oleh agama, sepanjang untuk kepentingan dan tujuan menangkal bahaya yang lebih dahsyat dari dusta itu sendiri. Tetapi, bila bertujuan untuk menguntungkan kepentingan diri sendiri seperti menimbun kekayaan dan mengejar kedudukan, hukumnya adalah haram. Dan bila Anda terpaksa harus berdusta, usahakan untuk memakai bahasa diplomatis, sehingga tidak terlalu terseret pada kedustaan. Ibrahim bin Adham jika la dicari seseorang di rumahnya, la berpesan kepada pembantu wanitanya, “Katakan saja kepadanya, ‘Carilah dia di masjid’!” Sedangkan Sya’bi membuat garis lingkaran dan menyuruh pembantunya, “Letakkan jari jemarimu di lingkaran itu, dan katakan, ia (Sya’bi) tidak ada di sana!” Sebagian mereka ada yang membuat alasan kepada penguasa, dengan berkata, “Selama aku berpisah denganmu, aku tidak pernah bangkit dari tanah (sakit) kecuali Allah swt. menghendaki.” Di hadapan penguasa mereka ada yang mengingkari apa yang telah dikatakan, “Sesungguhnya Allah mengetahui, aku ‘tidak’ berkata hal itu sedikit pun.” la berdiplomasi dengan mengaburkan kata maa (nafi) yang berarti “tidak”, padahal dimaksudkan, pada arti maa yang bukan nafi. Diplomasi dibolehkan untuk tujuan sepele. Sebab Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang tua dan mengatakan, ‘Kamu akan kami naikkan anak unta,’ atau ‘Suamimu di mataku tampak putih’.” Semua kata-kata itu memberi kesamaran arti yang berbeda dengan makna sebenarnya. Kata-kata itu boleh diucapkan kepada wanita atau anak-anak, untuk menenangkan hatinya. Begitupun orang yang menolak makanan, tidak seyogyanya la berbohong, “Aku tidak berselera,” padahal la berselera. Namun sebaiknya la berdiplomasi. Rasul saw pernah bersabda kepada seorang wanita yang berbicara seperti itu, “Janganlah kamu kumpulkan antara bohong dan rasa lapar!” Kedua: Menggunjing (Ghibah) Tentang menggunjing (ghibah) ini, Allah swt. berfirman: “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yangsudah meninggal?Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Q.s. Al-Hujurat: 12). Rasulullah saw bersabda, “Ghibah itu lebih besar dosanya dari pada zina. “ Allah mewahyukan kepada Musa as.: “Barangsiapa meninggal dalam keadaan telah bertobat dari ghibah, maka dia akan menjadi orang terakhir masuk surga. Dan barangsiapa meninggal dalam keadaan melakukan ghibah, maka dia akan menjadi orang pertama masuk neraka.” Rasul saw. bersabda, “Pada malam Isra’, aku melewati suatu kaum yang tengah mencakar-cakar wajah mereka dengan kukunya. Aku bertanya, Apa itu Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Itulah gambaran orang yang suka menggunjing sesama’. “ Ghibah - sebagaimana dijelaskan Rasul saw. - berarti menyebut-nyebut persoalan orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi, baik menyangkut kekurangannya, pikiran, pakaian, perbuatan, perkataan, rumah, keturunan, kendaraan dan hal-hal yang berkaitan dengan orang tersebut. Bahkan ucapan Anda, “Lengan bajunya lebar,” atau “Ujung bajunya panjang.” Ketika disebut di hadapan Rasul saw, “Betapa lemahnya orang itu,” Rasul saw langsung bersabda, Apakah kalian menggunjingnya?” Dan saat Aisyah r.a. memberikan isyarat dengan tangannya tentang seorang wanita yang pendek, Rasul saw bersabda, “Kamu menggunjingnya?” Ini menunjukkan bahwa ghibah itu tidak hanya terbatas pada ucapan saja, tetapi tidak ada bedanya apakah dengan isyarat tangan, sandi, aba-aba, gerak-gerik, menirukan atau sindiran yang dimengerti. Sebagaimana ucapan Anda, “Sebagian saudara kita atau sahabat kita, begini dan begitu.” Perlu diketahui, ragam gunjingan terburuk yang dilakukan ahli ibadat. Misalnya mereka katakan, “Alhamdulillah, Allah tidak menguji kita, dengan memasuki tempat penguasa untuk mencari dunia.” Atau mereka mengatakan, “Na’udzubillah, dari sedikit rasa malu.” Padahal mereka maksudkan adalah menggunjing orang. Misalnya lagi, “Betapa baiknya perilaku orang tersebut, kalau saja ia tidak diuji dengan ujian sebagaimana kita. Kesabarannya sangat sedikit dalam menghadapi dunia. Semoga Allah memaafkan kita.” Kata-kata ini bertujuan ghibah. Mereka kumpulkan ghibah dan riya’, disamping mereka menampakkan diri sebagai orang saleh yang meninggalkan ghibah. Semuanya merupakan kotoran yang menimpa mereka, dengan menyangka dirinya terbebas dari ghibah. Kadang-kadang, seseorang digunjing, sementara orangyang hadir telah lupa orang tersebut. Lalu, orang itu berucap, “Subhanallah, betapa mengagumkan ini ...!” Orang-orang yang hadir lantas menyimak. Orang ini menggunakan sebutan dzikir (Subhanallah) untuk tujuan kotornya. Ada pula, “Hatiku selalu disibukkan oleh ulah seseorang, semoga Allah memaafkan kami dan juga dia.” Padahal tujuannya bukan mendoakan, tetapi menonjolkan diri. Jika la bermaksud mendoakan, pasti la samarkan doa itu. Kalau la gelisah gara-gara orang tersebut, pasti la sembunyikan cacat dan dosanya. Orang yang mendengarkan gunjingan, terkadang malah ikut kagum karena omongan penggunjing, sehingga menambah semangat pergunjingan. Pendengar adalah termasuk penggunjingnya pula. Demikianlah yang pernah disabdakan Rasulullah saw. Begitu pula, ketika la berucap, “Tinggalkan pergunjingan!” Padahal ia sangat suka dengan gunjingan. Tujuannya sekadar untuk memamerkan wara’nya. Orang tersebut tidak bisa lepas dari dosa gunjingan, sepanjang hatinya tidak membenci pergunjingan. la bisa keluar dari dosa, kalau hatiya membenci pergunjingan, bahkan mengatakan apa yang diucapkan penggunjing itu bohong. Sebab sang penggunjing itu tergolong fasik. Orang Muslim yang digunjing berhak mendapatkan dugaan baik. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan dari sesama Muslim: darah, kehormatan, harta dan berburuksangka kepadanya.” Menggunjing dalam hati juga haram, sebagaimana dalam ucapan. Namun demikian, ada beberapa tempat dimana ghibah boleh dilakukan: 1. Pihak yang dizalimi mengadukan perilaku orang yang menzaliminya kepada penguasa yang berwenang untuk tindakan preventif. Apabila hal tersebut diadukan kepada selain penguasa yang tidak memiliki kemampuan mencegah, maka ghibah tidak boleh. 2. Bicara kepada orang yang dimintai pertolongan untuk mengubah kemungkaran. 3. Mengadukan kepada mufti jika mufti butuh penjelasan persoalan. Sebagaimana pernah dikatakan kepada Hindun, “Sufyan itu sebenarnya laki-laki yang sangat bakhil. la tidak memberi nafkah dan biaya hidup yang cukup.” Semua ini merupakan pengaduan. Hal itu diperkenankan jika ada gunanya. 4. Memperingatkan sesama Muslim atas kejahatan seseorang, dengan indikasi apabila tidak disebutkan kejahatannya, kelak kesaksian dustanya diterima, seperti orang yang menunaikan zakat, menyebut perilaku amil zakat yang berbahaya kepada orang yang terkena ulahnya. 5. Menyebut nama orang yang dikenal itu punya cacat fisik seperti pincang atau matanya kabur. Menyebut dengan nama lain lebih utama. 6. Jika cacat tersebut sudah jelas, dan bila diungkap, pihak yang disebut-sebut tidak marah. Semisal menyebut si banci atau ten¬tang rumah mesum (bordil). Al-Hasan berkata, “Ada tiga golongan tidak termasuk menggunjing, jika menyebut aib mereka, yaitu: Orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang melakukan kefasikan secara terang-¬terangan, dan pemimpin yang menyeleweng.” Ketiga kelompok tersebut secara terang-terangan disebut-sebut masyarakat, dan sebutan itu tidak dibenci oleh ketiga kelompok tersebut. Yang benar menyebut aib si fasik yang bergelimang maksiat, perlu dengan cara yang samar. Makruh menyebutnya secara terang-¬terangan, kecuali karena tuntutan syariat. Terapi Ghibah. Adapun cara menghindarkan diri dari kebiasaan berghibah adalah dengan merenungkan dan mengingat ancaman yang bakal dijatuhkan Allah swt. kepada orang yang suka berghibah. Dalam beberapa hadis beliau bersabda, diantaranya, “Sesungguhnya ghibah itu akan meng¬hanguskan kebaikan seseorang lebih cepat dari jilatan api atas kayu kering.” (Al-Hadis). Dalam suatu hadis juga diungkapkan, bahwa kebaikan orangyang suka menggunjing itu akan dipindahkan kepada buku catatan orang yang digunjing. Sehingga akhirnya dia mendapatkan kebaikan jauh lebih sedikit, sementara ghibah membengkak. Pada akhirnya, amal baiknya habis. Selanjutnya, untuk menghindari ghibah, seseorang perlu merenungi aib dirinya sendiri. Kalau la melihat aibnya, akan disibukkan upaya menerapi diri dan mengabaikan aib orang lain. Akhirnya la merasa dirinya kecil, dan bahaya atas -dirinya itu lebih besar dari pada nilai besar yang dimiliki orang lain. Sebaliknya, jika la tidak merasa mempunyai aib, berarti kebodohan terhadap aib sendiri merupakan aib terbesar. Sejak kapan manusia sunyi dari aib? Andaikata sekalipun la benar-¬benar tidak memiliki aib, la harus bersyukur kepada Allah swt. sebagai ganti dari ghibah. Sebab menggunjing manusia dan memakan bangkai itu termasuk aib terbesar dan harus dijauhi. Kalau ucapannya terlanjur pada ghibah, segera istighfar kepada Allah swt, lantas pergi kepada orang yang digunjing sambil minta maaf, “Saya telah berbuat zalim kepada Anda, maafkan saya!” la harus meminta agar apa yang dilakukan dimaafkan. Kalau la tidak bisa bertemu, la harus banyak memuji, mendoakan serta menyebut kebaikannya. Sehingga ketika sebagian amalnya dipindah ke catatan pihak yang digunjing, masih tersisa amal lain, sebagai tebusan dosa ghibah. Ketiga: Berdebat secara Konfrontatif Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa meninggalkan perdebatan padahal dia adalah benar, maka kelak akan dibangun untuknya kediaman di dalam surga teratas. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia memang salah, maka kelak akan dibangun untuknya kediaman di surga bagian bawah.” Demikian itu karena meninggalkan perdebatan bagi pihak yang merasa dirinya benar adalah sangat sulit. Maka, layak sekiranya bila janji pahalanya lebih tinggi daripada mereka yang meninggalkan perdebatan karena memang berada di pihak yang salah. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, kecuali jika dia bersedia meninggalkan debat dan pertentangan, padahal dia benar.” Berdebat atau bersitegang adalah menyanggah pembicaraan orang lain dengan rnengutarakan kekurangan-kekurangannya, baik yang bersifat faktual maupun makna kontekstualnya. Hal ini adakalanya muncul oleh adanya perasaan bahwa dirinya lebih unggul daripada yang lainnya. Ada kalanya, karena kebodohannya ataupun kekerasan hati dari salah satu pihak, yang menjadi wataknya yang cenderung destruktif kepada orang lain. Orang yang melakukan debat kusir memiliki potensi sikap kotor yang bisa membinasakan. Bila kita mendengar pembicaraan orang lain, sebaiknya kita ambil yang benar, dan diam saja jika salah. Boleh kita mengutarakan kekurangan pembicaraan seseorang jika ternyata sangat mengandung manfaat keagamaan. la perlu menyimak dan mengoreksi secara bijak dan lembut. Bukan dengan cara yang kasar. Keempat: Bersenda-Gurau Bergurau melampaui batas dapat menimbulkan gelak tawa secara berlebihan, akhirnya mematikan hati, menimbulkan permusuhan, perselisihan, perpecahan dan juga menjatuhkan wibawa serta harga diri seseorang. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang berbicara untuk ditertawakan oleh para pemirsanya, maka ia akan jatuh terhina melebihi jatuhnya dari bintang Tsuraya.” Kelima: Pujian Memuji ternyata telah menjadi kebiasaan para pembesar dan penguasa yang menjadi budak dunia. Begitu para pembuat kisah dan juru bicara, mereka memuji para hadirin, khususnya para hartawan. Padahal pujian itu mengandung enam bencana. Empat bencana bagi pemuji dan dua untuk yang dipuji. 1. Seringkali pujian tersebut dilakukan secara berlebih-lebihan, bahkan akhirnya menjurus pada dusta, karena tidak sesuai dengan kenyataan. 2. Berpura-pura senang kepada orang yang dipuji, padahal sebenarnya tidaklah demikian. Hal ini jelas menjurus pada sifat munafik dan riya’. 3. Seringkali mengatakan sesuatu secara tidak obyektif dan omong kosong. Misalnya, mengatakan dia itu orang yang adil, dan dia itu wara’, padahal kenyataannya tidak. Seseorang pernah memuji orang lain di hadapan Rasulullah saw. Lalu Rasul saw bersabda, “Celaka Anda!Anda telah memenggal leher teman Anda! Apabila di antara kalian memuji saudaranya, sebaiknya mengatakan, Aku menghargai Fulan, dan aku tidak menganggap seorang pun bersih di sisi Allah.’ Yang berhak dihargai hanya Allah, jika memang demikian.” 4. Dapat menjadikan pihak yang dipuji itu merasa bangga dan besar kepala. Padahal bisa jadi orang yang dipuji itu adalah orang zalim, yang membuatnya semakin senang atas kedurhakaan dan kefasikannya. Sedangkan Rasulullah saw sendiri telah bersabda:“Sesungguhnya Allah sangat murka bila ada orang fasik dipuji¬-puji.” (A1-Hadis). Al-Hasan berkata, “Barangsiapa mendoakan panjang umur bagi orang fasik, maka berarti senang bila Allah selalu didurhakai.” Orang zalim yang fasik berhak dicaci agar kegemarannya berbuat zalim berhenti. Adapun bencana yang terkait dengan si penerima pujian itu meliputi dua hal: 1. Kemungkinan dia akan menjadi takabur dan ta’ajjub, yang keduanya dapat membinasakan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw terhadap orang yang suka melontarkan pujian kepada orang lain, “Berarti engkau telah memenggal batang lehernya.” 2. Bisa jadi dia bangga dan lupa amalnya, dan merasa dirinya sudah cukup. Tidak mengherankan bila Nabi saw bersabda, “Bila seseorang berjalan menemui sesama dengan membawa pisau yang tajam (meng¬kritik secara tajam), adalah lebih baik daripada ia memujinya di hadapannya secara langsung.” Demikianlah, bila suatu pujian itu telah terhindar dari unsur-unsur yang berdampak negatif seperti di atas - baik menyangkut diri si pemuji atau yang dipuji - maka pujian boleh dilakukan, bahkan terkadang dianjurkan. Sebab, dalam beberapa kesempatan, Rasulullah saw juga sering memberikan pujian dan sanjungan kepada para saha¬bat, bilamana menurut beliau justru akan semakin menambah semangat kerja dan daya juang mereka, bukannya semakin membuat mereka sombong. Misalnya, beliau memuji Abu Bakar r.a,’Andaikata kualitas keimanan Abu Bakar dan manusia sejagad ditimbang, tentu akan lebih berat kualitas keimanan Abu Bakar.” Tentang Umar bin Khaththab r.a, beliau bersabda, ‘Andaikata aku belum diutus, tentu engkau Umar yang akan diutus menjadi Rasul.” Bagi pihak yang dipuji, sebaiknya merenungkan dampak akhirnya, bahaya riya’ yang tersembunyi dan berbagai bencana amal perbuatan. la pun harus menyadari, adanya keburukan batinnya, terutama yang berkecamuk dalam nafsu dan pikirannya; seandainya pemuji tahu, pasti tidak memuji seperti itu. Demikian pula, pihak yang disanjung harus menampakkan sikap kurang senang bila disanjung, secara lahir dan batin. Sebagaimana isyarat Rasulullah saw dalam sabda beliau, “Hamburkanlah pada wajah orang yang suka menyanjung.” Sebagian sufi, berdoa ketika dipuji, “Ya Allah, sungguh hamba¬Mu ini lebih layak pada murka-Mu dan aku bersaksi kepada-Mu atas kelayakan murka itu.” Bila memungkinkan, kita dapat meneladani Ali bin Abi Thalib r.a. saat disanjung orang. Beliau biasanya berdoa: “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau siksa aku dengan apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangkakan kepadaku. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar