Rabu, 20 Februari 2013
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan
bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret
1888. silsilah KH. Abdul Wahab Hasbullah bertemu dengan silsilah KHM. Hasyim Asy’ari pada datuk
yang bernama Kiai Shihah.
Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala
permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah,
dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah
membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih.
Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan
untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab,
Muhadzdzab dan Al Majmu'. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits,
dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya
yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul
Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah Abdul
Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan, Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil
Waliyullah.
Beliau tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun,
pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada
Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul Wahab langsung
diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Langkah awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu
merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah
sengaja dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan
gubahan syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah darah
serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah
untuk membebaskan. belenggu kolonial Belanda.
Namun demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh
Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai
'Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe
manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau
juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau
diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum
modernis anti madzhab.
Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila kemudian beliau
mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok
Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang
berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang
mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919,
kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang bertugas mendidik
anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat
elementer.
Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul Afkar' bergerak maju.
Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul
Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian,
bukan berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan
bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada
dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan
Pegirian Surabaya.
Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) berhubungan dengan
H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H.
A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih
condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab
sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan
sistem madzhab.
Dalam hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab seringkali tidak dapat
menghindari serangan-serangan mereka baik yang ada di SI maupun di K.H. Mas Mansur sendiri.
Meski tujuan utamanya membangun nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali
dilancarkan hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan pendapat
antara Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur.
Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak perlu
mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul
Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab
membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul
Wathan di Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di
Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama 'Wathan'
yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air.
Dan syair 'Nahdlatul Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya
sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para
santri setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair
tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu
kebangsaan 'Indonesia Raya'.
Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga
keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang
dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat
dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail
diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama
muda yang
mempertahankan madzhab.
Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam seminggu. Dan
pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja, melainkan juga ada yang dari Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang.
Karena peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di
antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul
Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari
Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok
pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri,
dan Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.
Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak
serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang dikursus, agaknya dipersiapkan
betul untuk menjadi juru bicara tangguh dalam menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam
perkembangan berikutnya, ketika berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di beberapa
daerah, tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup dihadapi ulama-ulama muda
peserta kursus tersebut.
Pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite
Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya
madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh
tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk
Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang
kemudian melahirkan JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan
dari perjuangan K.H. Abd. Wahab Hasbullah.
Demikianlah selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan semangat
nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di
samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan kebenaran madzhab
dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar