Rabu, 19 Desember 2012

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM Bag 5 Pasal Ke tigapuluh lima Shalat Berjama’ah Shalat Berjama’ah (bersama-sama imam) bagi laki-laki itu lebih afdhal daripada munfarid (shalat sendiri). Sedangkan bagi perempuan afdhalnya adalah shalat di rumahnya sekalipun munfarid (shalat sendiri), dan jikalau dapat dirumahnya itu berjama’ah dengan sama-sama perempuan atau mahramnya (yang tidak menjadikan ia haram) maka itu lebih afhal lagi. Syarat-syarat Shalat Berjama’ah 10 (sepuluh) perkara: 1. Bahwa janganlah ma’mum meng-I’tiqadkan (berkeyakinan) bahwa Shalat imamnya itu batal, atau imamnya itu sedang shalat qadha’ 2. Janganlah ma’mum mengikuti ma’mum. 3. Janganlah seorang imam itu tidak pandai mengucapkan huruf bacaan Al-Fatihah, atau imam menggantikan sesuatu huruf dengan huruf yang lain, misalnya: alhamdulillah diganti dengan khabasara, melainkan jika ma’mumnya saja yang melakukan kesalahan seperti itu. 4. Janganlah ma’mum labih maju berdirinya atau duduknya daripada imam. 5. Janganlah ma’mum laki-laki mengikuti imam perempuan atau banci, akan tetapi perempuan atau banci sah mengikuti imam laki-laki. 6. Berniat (didalam hati) oleh ma’mum akan ma’muman (mengikuti imam) sewaktu di Takbirathul Ihram. 7. Bahwa ma’mum mengetahui akan imamnya ketika ruku’, sujud, duduk dan lainnya, dengan melihat padanya atau mendengar suara imamnya takbir intiqal (mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ) atau dengan takbir Muballigh (maksudnya suara bilal atau yang mengeraskan suara imam), atau melihat pada sebahagian ma’mum akan ruku’ sujudnya. 8. Jangan ada palang (penghalang) yang mencegah orang untuk berjalan antara tempat imam dan tempat ma’mum. Misalnya antara imam dan ma’mum dihalangi oleh bambu yang melintang, pintu tertutup, atau bale-bale yang tinggi, yang karena tingginya itu mencegah akan orang yang berjalan sebagaimana biasa orang yang berjalan, melainkan ia harus dengan sangat menunduk atau melompat. 9. Ma’mum wajib mengikuti gerakan imamnya, maka afdhalnya adalah jika imam telah sampai di batas ruku’ maka barulah ma’mum ruku’, dan jika imam telah sampai di batas berdiri maka barulah ma’mum bangkit daripada ruku’, dan jika imam telah sampai di batas sujud maka barulah ma’mum turun sujud, demikian pula pada rukun-rukun yang lain. a. Makruh hukumnya bagi ma’mum membarengi gerakan imam dalam shalat, dan haram hukumnya mendahulukan imam pada satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika mendahulukan imam dengan dua rukun fi’li. b. Makruh hukumnya bagi ma’mum bila tertinggal gerakan imam dengan tiada uzur hingga imam mendapat satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika tertinggal gerakan imam dengan dua rukun fi’li jika ketiadaan uzur. c. Adapun jika ada uzur seumpama ma’mum lambat membaca Al-Fatihah dan Imamnya terlalu cepat membacanya, atau ma’mum terlupa membaca Al-Fatihah maka setelah imamnya ruku’ barulah ma’mum ingat, atau ma’mum yang muwaffak membaca do’a istiftah dan imamnya ruku’ sebelum ma’mum membaca Al-Fatihah, maka dengan salah satu uzur dalam kondisi yang tersebut ini boleh ma’mum ketinggalan daripada imamnya karena menghabiskan bacaan Al-Fatihah hingga imamnya bangkit daripada sujud yang kedua. 10. Jangan berlawanan gerakan ma’mum dengan gerakan imamnya dengan perbedaan yang sangat berbeda (mencolok) dilihatnya, yaitu seumpama imam sujud tilawah atau sujud sahwi maka tidak diikuti oleh ma’mum akan sujud tilawah atau sujud sahwi itu. Perbedaan gerakan oleh sebab yang demikian itu akan menjadi batal shalat ma’mum jika ia tidak berniat mufarraqah (berpisah dari imam). Artinya muwaffak: yaitu makmum yang memulai didalam pendirian shalatnya bersama-sama imam, dimana waktu yang yang didapat ma’mum cukup muat untuk membaca Al-Fatihah seluruhnya. Artinya Masbuk: yaitu ma’mum yang tidak mendapatkan waktu yang cukup membaca Al-Fatihah seluruhnya kecuali hanya takbiratul ihram atau mendapatkan imamnya lagi ruku’. Ketentuan-ketentuan Masbuk: 1. Jika Masbuk mendapatkan imamnya lagi berdiri, maka sesudahnya ma’mum takbiratul ihram harus segera ia membaca Al-Fatihah dengan tidak perlu membaca اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ atau do’a istiftah lagi, karena apabila imam ruku’ sedangkan ma’mum belum menyelesaikan Al-Fatihah, maka ia boleh langsung mengikuti imamnya untuk ruku. Dan ma’mum mendapatkan raka’at itu. 2. Apabila Masbuk mendapatkan imam lagi ruku’, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram ia langsung ruku’ mengikuti imam dengan sunnah membaca takbir intiqal (اَللهُ اَكْبَرُ), maka jika ma’mum mendapatkan thuma’ninah (diam sekedar سُبْحَانَ اللهِ) bersama-sama imam di dalam ruku’ itu, maka dapatlah ma’mum akan raka’at itu. Akan tetapi bilamana ma’mum tidak mendapatkan thuma’ninah itu bersama-sama imam (misalnya ma’mum ruku’ bersamaan imamnya I’tidal) maka ma’mum tidak mendapatkan raka’at itu. 3. Adapun jikalau Masbuk mendapatkan imam lagi sujud atau lagi duduk antara dua sujud atau lagi tasyahhud, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram, dia langsung mengikuti imam dimana adanya dengan tidak membaca takbir intiqal lagi. Dan ma’mum dalam hal ini tidak mendapatkan raka’at itu. Pasal Ke tigapuluh enam Shalat Qashar dan Jama’ Arti Qashar adalah: Mengurangi 2 (dua) raka’at daripada shalat (yang empat raka’at) seperti Shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’. Arti Jama’ adalah: menggabungkan dua shalat fardhu didalam satu waktu. Syarat-syarat Qashar 7 perkara: 1. Mengetahui akan harusnya bagi orang yang berlayar (musafir/bepergian) yang perjalanannya itu berjarak dua marhalah yaitu perjalanan 90 pal (kilometer). 2. Jangan kurang kadar jarak pelayarannya itu dari yang ditentukan diatas itu. 3. Pelayarannya itu bukan dengan maksud maksiat (piknik maksiat misalnya mau nonton bola) 4. Qasadnya (tempat yang akan dituju) pada tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. 5. Niat Qashar di dalam takbiratul ihram. 6. Jangan mengikuti imam yang sedang shalat tamam (shalat yang lengkap/biasa). 7. Senantiasa pelayarannya itu hingga akhir shalat. Arti Jama’ Taqdim yaitu: mendahulukankan Shalat Asyar diwaktu Zhuhur atau mendahulukankan Shalat Isya’ diwaktu Maghrib. Maka syaratnya ada 4 perkara: 1. Mendahulukan shalat Zhuhur baru kemudian Asyar atau mendahulukan shalat Maghrib baru kemudian Isya’. 2. Niat Jama’ di dalam shalat yang didahulukan itu (didalam shalat Zhuhur atau shalat Maghrib), dengan mengatakan di dalam hatinya saja: “sahjaku menjama’ shalat Ashar di waktu Zhuhur” atau “sahjaku menjama’ shalat Isya diwaktu Maghrib”. 3. Segera melakukan shalat antara keduanya (maksudnya setelah salam shalat Zhuhur langsung takbiratul ihram lagi untuk shalat Ashar) 4. Senantiasa pelayarannya (perjalanannya) itu hingga habis waktu untuk takbiratul ihram shalat yang kedua (shalat Ashar atau Isya’). Arti Jama’ Ta’khir yaitu: menta’khirkan shalat Zhuhur di waktu Asyar atau menta’khirkan shalat Maghrib di waktu Isya’. Maka syaratnya ada 2 perkara: 1. Niat menta’khirkan diwaktu yang awal (misalnya di waktu Zhuhur tetapi diluar shalat atau di waktu Maghrib tetapi diluar shalat) dan sunnah berlafaz akan niat itu sebagai berikut: نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ. Artinya: Aku niat menta’khirkan Zhuhur kepada Ashar. Atau: نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الْمَغْرِبِ إِلَى الْعِشَآءِ Artinya: Aku niat menta’khirkan Maghrib kepada Isya’ 2. Senantiasa pelayarannya (perjalanannya) itu hingga shalat yang kedua. (shalat Ashar atau Isya tetapi cukup waktunya untuk melakukan shalat jama’ tersebut). Pasal Ke tigapuluh tujuh Shalat Jum’at Bahwasanya Shalat Jum’at itu adalah Fardhu ‘Ain (fardhu yang diwajibkan kepada perorangan) atas tiap-tiap laki-laki yang balligh, merdeka dan mukim (bertempat tinggal). Pahala mengerjakan Shalat Jum’at itu sangat terlalu besar, dan dosa bagi yang meninggalkan Shalat Jum’at-pun sangat terlalu besar. Bahkan jikalau berturut-turut meninggalkan Shalat Jum’at 3 (tiga) kali dengan tiada uzur (sebab) maka menjadikan orang tersebut Munafik (keluar dari Islam). Jika suatu dusun (kampung) mudah berkumpul orang-orangnya di dalam satu Masjid maka tidak boleh beberapa Masjid yang mengadakan Shalat Jum’at (satu Masjid saja). Tetapi jika sukar untuk mengumpulkan dalam satu Masjid, maka boleh dua Masjid dan jika tidak dapat dua Masjid maka boleh tiga Masjid. Jadi bilamana harus beberapa Masjid dijadikan Shalat Jum’at itu dikarenakan uzur tidak muat atau terlalu jauh sehingga menjadi musyaqqat (darurat) maka diperbolehkan. Adapun bilamana orang-orang dalam suatu dusun (kampung) tidak cukup 40 (empat puluh) orang, maka jikalau dapat terdengar azan Shalat Jum’at dari tempat Shalat Jum’at yang cukup 40 (empat puluh) orangnya, wajib atas orang-orang di dusun (kampung) yang kekurangan itu datang ber-Shalat Jum’at ketempat yang cukup itu. Tetapi bilamana tidak dapat terdengar azan Shalat Jum’at dari tempat Shalat Jum’at yang cukup 40 (empat puluh) orang itu, maka afdhalnya mengerjakan Shalat Jum’at mengikut qaul qadim bagi Imam Syafi’I yang telah dikuatkan oleh beberapa Ulama padanya, tetapi dengan ihtiyath mengulang Shalat Zhuhur sehabis Shalat Jum’at . Syarat-syarat Shalat Jum’at: 1. Waktunya di dalam waktu Shalat Zhuhur, maka tidak Shah jika diluar waktu Zhuhur. 2. Tempat melakukan Shalat Jum’at itu masuk pada bilangan Negeri Jum’at (suatu tempat dimana diperbolehkannya mendirikan Shalat Jum’at). 3. Wajib terlebih dahulu membaca Dua Khutbah, dengan 5 (lima) rukun-rukunnya, yaitu: a. Mengucapkan اَلْحَمْدُ ِللهِ . b. Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad. c. Wasiat bit taqwa yakni memerintahkan kepada jama’ah Shalat Jum’at untuk mengerjakan yang wajib-wajib dan mencegah dari perbuatan yang haram. (Ketiga-tiganya rukun ini wajib dikerjakan di dalam Dua Khutbah itu.) d. Membaca satu ayat dari Al-qur’an di dalam salah satu khutbah dari Dua Khutbah itu. e. Mendo’akan mu’minin dan mu’minat (orang Islam yang laki-laki dan perempuan) pada khutbah yang ke dua dari Dua Khutbah itu. Sunnah-sunnah dalam ber-Shalat Jum’at: 1. Mandi Sunnah Jum’at. 2. Memakai pakaian yang berwarna putih bersih dan wangi. 3. Membaca Al-Qur’an Surah Al-Kahfi. 4. Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 5. Setelah Shalat Jum’at sebelum berkata-kata dan sebelum berubah tempat duduknya maka sunnah membaca: a. Surah Al-Fatihah sebanyak tujuh kali. b. Surah Al-Ikhlas sebanyak tujuh kali. c. Surah An-Falaq sebanyak tujuh kali. d. Surah An-Naas sebanyak tujuh kali. 6. Dilanjutkan dengan membaca do’a dibawah ini: اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّـهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اَللَّـهُمَّ يَاغَنِيُّ يَاحَمِيْدُ، يَامُبْدِئُ يَامُعِيْدُ، يَارَحِيْمُ يَاوَدَوْدُ. أَغْنِنِىْ بِحَلاَ لِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ، وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ. Artinya: Segala Puji bagi Allah seru sekalian alam. Ya Allah Tuhanku, berikan Rahmat atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad. Ya Allah Tuhanku, Engkau yang Maha Kaya, Engkau yang Maha Terpuji, Engkau yang Maha Memulakan, Engkau yang Mengulangkan, Engkau yang Maha Penyayang, Engkau yang sibuk memberi pemberian kebajikan. Kayakanlah aku dengan yang Engkau halalkan, yang jauh daripada yang Engkau haramkan, dan kayakan aku dengan membuat taat dan jauhkan aku daripada membuat maksiat, dan kayakan aku dengan kelebihan Engkau pada lain daripada Engkau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar